Categories
EKOSOB slide

Pembangunan Bendungan Karalloe Telah Merampas Ruang Penghidupan Petani

Selama puluhan tahun bahkan sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang dan orang tua kami sudah tinggal di desa ini secara turun temurun. Dari dulu desa kami sangat aman dan tenteram, pencuri pun tidak berani masuk kesini. Tapi kami tidak habis pikir mengapa pemerintah justru mau mengambil tanah kami, apalagi kami dengar berita bahwa desa ini mau ditenggelamkan. Kami kira hanya Belanda yang sering mengambil hasil panen petani, ternyata pemerintah [Indonesia] lebih kejam karena tidak hanya mengambil hasil panen tapi juga ingin menenggelamkan desa kami”. Tutur salah satu tokoh masyarakat Desa Garing yang terkena dampak pembangunan Bendungan Karalloe.

Pesan ini disampaikan dalam bahasa campuran Makassar-Indonesia, tapi kurang lebih seperti itulah ungkapan suasana yang menyambut kami saat pertama kali datang ke Desa Garing untuk melakukan invetigasi awal pada Senin, 16 April 2017. Saat kami tiba di desa,  hari mulai gelap dan warga mulai berdatangan mengerumuni kami yang sedang menyeruput kopi di teras rumah panggung milik salah seorang warga. Pikir mereka, kami adalah orang kota yang akan menolong mereka, memberikan perlindungan keamanan dari teror dan intimidasi, bahkan salah seorang warga yang sudah dua bulan melarikan diri ke gunung/hutan karena merasa dirinya termasuk DPO (daftar pencarian orang), saat itu pun dia memberanikan diri masuk ke perkampungan karena merasa kami akan melindungi dia dari penangkapan aparat. Mereka juga berharap kami adalah orang kota yang akan mengembalikan hak – hak mereka yang direnggut. Kami kemudian meyakinkan mereka bahwa kami bukanlah seperti yang mereka bayangkan. Kami hanyalah anak nelayan, anak petani yang ingin berjuang dan menerima resiko bersama warga yang terkena dampak ketidakadilan pembangunan Bendungan Karalloe.

Seperti diketahui bahwa rencana lokasi pembangunan Bendungan Karallloe terletak di Kab. Gowa, Kecamatan Tompobulu Desa Garing dan Desa Datara, untuk Kecamatan Biringbulu terletak di Desa Kelurahan Tonrorita dan Desa Taring. Daerah genangan dan daerah aliran sungai terletak di Kab. Gowa, sedangkan jaringan irigasi dan daerah irigasinya terletak di Kabupaten Jeneponto. Luas lahan yang dibutuhkan adalah 215 Ha. Penanggungjawab proyek ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan anggara sebesar 584 milyar bersumber dari APBN.[1]

Salah satu daerah genangan bendungan adalah Desa Garing yang memiliki jumlah penduduk ± 3.000 jiwa, tepatnya di Dusun Pa’lopiang dan Dusun Bangkeng Ta’bing. Desa ini dikenal sebagai daerah tersubur yang selama ini menjadi lumbung pangan. Sebab daerah ini dilintasi sungai besar yang diberi nama oleh masyarakat setempat sungai Karalloe aliran dari hulu gunung Lompobattang. Menurut masyarakat setempat, sungai ini memiliki persediaan air yang besar dan tidak pernah kering meskipun musim kemarau. Sehingga lintasan sungai ini merupakan berkah bagi mayarakat yang bermukim dan bercocok tanam di sekitarnya, hal ini dibuktikan dengan hasil panen masyarakat setempat yang selalu melimpah pada setiap tahun[2]. Penghasilan utama masyarakat dari bertani dan berkebun seperti jagung, padi, sayuran, jambu mente, cokelat, kopi, kelapa, pentes, pisang, jati putih, kemiri dan lain lain.

Secara geografis, Desa Garing berada pada perbatasan antara Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto. Daerahnya berada dalam kategori pegunungan, sementara permukiman masyarakat tersebar di beberapa tempat, diantaranya daerah lembah, punggungan dan dataran tinggi pegunungan.

Setiap rumah tangga Petani mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari termasuk kebutuhan keluarga lainnya, seperti biaya kesehatan dan pendidikan. Meski demikian, kondisi ekonomi masyarakat cukup dekat dengan garis kemiskinan dikarenakan kekuatan produksi masyarakat hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar dan keperluan pokok lainnya. Hal ini dikarenakan mereka belum bisa memproduksi hasil pertanian dalam jumlah besar dan keterbatasan dalam pemasaran hasil panen.

bendungan.gowa.01
pertemuan dengan warga desa Garing. (doc: Aswin)
bendungan.gowa.02
pertemuan di rumah warga desa Garing. (doc. Aswin)

Awal Mula Masuknya Proyek Bendungan Karalloe

Pada tahun 2014, secara diam-diam pihak Balai Pompengan Jeneberang bersama Badan Pertanahan Negara Kabupaten Gowa melakukan pengukuran akses jalan dan batas-batas bendungan. Atas pengukuran itu, masyarakat setempat keberatan karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Mereka kemudian mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan proses pengukuran. Proses pengukuran pun berhenti dengan adanya perjanjian antara masyarakat setempat dengan BPN Gowa dan Balai Pompengan Jeneberang, yang mana menyebutkan “tidak ada kegiatan pengukuran sebelum ada musyawarah ganti rugi”.

Namun, sejumlah pihak, termasuk pemerintah kecamatan Tompobulu dan pemerintah desa Garing terus mendesak masyarakat untuk melepaskan tanah garapannya. Akibat desakan disertai ancaman secara terus-menerus, bahwa menolak dan menghalagi pembangunan bendungan merupakan perbuatan melawan pemerintah, mengakibatkan sejumlah masyarakat ketakutan dan mulai terbuka untuk melepaskan tanah garapan dan pemukiman mereka. Pelepasan ini disertai dengan beberapa syarat, dan saat itu terbangun kesepakatan bersama diantaranya : pelaksanaan pengukuran harus didampingi oleh pemilik tanah; hasil pengukuran akan dikembalikan kepada pemilik tanah untuk diverifikasi dan diberikan sertifikat Program Nasional (Prona) secara gratis; pengerjaan fisik mengutamakan potensi lokal; dan masyarakat dibuatkan akses jalan.

Pada kenyataanya, pihak BPN melanggar semua kesepakatan, misalnya dalam hal pengukuran tidak transparan dan tidak melibatkan pemilik lahan. Penilaian ganti rugi ditetapkan secara sepihak oleh Tim Penilai. Hingga pembayaran ganti rugi dilakukan dengan intimidasi dari Brimob dan Aparat TNI Kodim Kab. Gowa yang dilakukan pada malam hari hingga subuh selama tiga hari secara berturut-turut.

Tidak hanya itu, Masyarakat dipaksa menandatangani suatu lembaran kertas yang mana isinya tidak diperlihatkan. Saat masyarakat menanyakan isi kertas tersebut, justru diancam balik oleh panita pengadaan tanah yang saat itu ditemani oleh Brimob dan TNI. Akhirnya sebagian masyarakat terpaksa menandatangani. Kendati demikian, sebagian masyarakat tetap tidak mau bertandatangan. Bagi yang tidak bertandatangan dan tidak mengambil uang ganti rugi, saat ini uangnya sudah dititipkan di Pengadilan Negeri Sungguminasa.

Peristiwa Tanggal 16 Maret 2017 (Penggusuran Permukiman Warga di Dusun Pa’lopiang dan Bangkeng Ta’bing)

Warga yang sudah maupun yang belum mengambil uang ganti rugi tetap tidak mau meninggalkan tanahnya secara sukarela karena biaya ganti rugi yang tidak sesuai dan tidak layak serta tidak transparan. Pihak pelaksana proyek kemudian memaksakan pembebasan lahan dengan mengerahkan ± 800 personil gabungan Brimob, TNI dan Satpol PP serta preman bayaran. Warga yang tetap bertahan mengalami kekerasan, 4 (empat) orang warga ditangkap oleh Kepolisian Resort Gowa atas dugaan senjata tajam berdasarkan UU Darurat. Mereka bernama Herman, La’bi, Sitaba dan Ridwan. Dua orang kemudian dilepaskan karena tidak cukup bukti bernama Ridwan dan Sitaba, sedangkan sisanya bernama Herman dan La’bi  tetap diproses secara hukum.  Warga berusaha melakukan mediasi dengan pihak aparat karena tanaman warga sudah siap panen. Warga hanya meminta agar pembebasan lahan ditunda hingga 1 minggu kedepan setelah panen. Namun pihak aparat tidak peduli dan tetap melakukan penggusuran secara paksa. Atas peristiwa tersebut, kurang lebih 300 orang petani kehilangan tempat tinggal (permukiman) beserta tanah garapan.

Hingga saat ini kurang lebih 2 (dua) bulan, sebagian masyarakat masih memilih bertahan di lokasi dengan mendirikan tenda darurat. Sebab mereka tidak memiliki keluarga di tempat lain dan di satu sisi mereka tidak punya uang yang cukup untuk membeli lahan baru dan mendirikan rumah. Sebagian dari mereka yang memiliki keluarga, saat ini masih tinggal menumpang di rumah keluarganya dan tetap saja tidak bisa membeli lahan baru untuk ditempati mendirikan rumah karena uang mereka tidak cukup. Disebabkan harga tanah di tempat lain lebih mahal dan biaya material rumah yang tidak terjangkau. Adapun sisa material rumah mereka yang digusur 90% persen tidak dapat digunakan kembali karena dibongkar secara paksa oleh Brimob hingga rusak.

penulis: Edy Kurniawan (PBH YLBHI-LBH Makassar)

bendungan.gowa.04 bendungan.gowa.05 bendungan.gowa.07 bendungan.gowa.03

kondisi rumah warga yang telah digusur

bendungan.gowa.06
Sekolah di desa Garing yg terancam akan digusur. Edy berfoto bersama anak-anak sekolah yang akan terancam kehilangan hak atas pendidikan akibat pembangunan bendungan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *