Categories
SIPOL

Mahasiswa Korban Kekerasan Polisi Divonis Bersalah

IMG_20150416_203358Makassar – Setelah menjalani proses hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, dan ditahan selama kurang lebih 5 bulan lamanya, mahasiswa korban kriminalisasi dan kekerasan aparat Kepolisian di Univesitas Negeri Makassar (UNM) akhirnya divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar. Ketua Majelis hakim yang membacakan putusan, menetapkan Putusan Pemidanaan (veroordeling) terhadap terdakwa Nasrullah dan Wahyu Khaeruddin karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan  melakukan Tindak Pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang atau orang sebagaimana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHPidana. Kedua terdakwa divonis 6 bulan penjara dikurangi selama masa penahanan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya selama 7 bulan penjara.

Meski vonis yang diterima oleh kedua terdakwa tergolong ringan, namun putusan ini jauh dari rasa keadilan. Sebab, Nasrullah dan Wahyu dan beberapa mahasiswa yang diadili dalam perkara yang lain, adalah korban kriminalisasi oleh Kepolisian. Penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya, menjelaskan dengan rinci kronologi peristiwa serta tindakan penangkapan sewenang-wenang pada saat peristiwa yang menyeret para terdakwa ke meja hijau tersebut.

Dalam peristiwa itu, 46 orang ditangkap secara sewenang-wenang dari dalam kampus UNM, dan mengalami penyiksaan dan kekerasan. Saat kedua terdakwa diperiksa di Polrestabes Makassar, mereka dipaksa mengaku melakukan pelemparan ke arah aparat dan ikut dalam demo yang berakhir dengan brutalitas aparat kepolisian di dalam kampus UNM.

Saat proses pemeriksaan saksi, beberapa Saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan keterangan yang tdak jelas terkait dengan tindak pidana yang didakwakan, bahkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU berbelit-belit dan bertentangan satu sama lain.

Andi Ilman selaku saksi korban menjelaskan bahwa tempat (locus) peristiwa tersebut terjadi di depan kantor DPRD Kota Makassar. Sekitar 100 massa mahasiswa melakukan pelemparan batu ke arah polisi dari jarak 20 hingga 30 meter, sehingga dirinya terkena lemparan batu di bagian dahi dan kakinya. Keterangan tersebut dibantah oleh kedua terdakwa terkait tempat penangkapan yang dilakukan terhadap keduanya yang berada di tempat yang sama, yaitu di dalam ruang kelas dan tidak tahu menahu terjadinya bentrokan di depan kantor DPRD Kota Makassar yang diuraikan saksi.

Sedangkan dua orang saksi lainnya yang dihadirkan oleh JPU yang juga anggota Polisi justru menjelaskan locus peristiwa yang berbeda, yaitu bukan di depan kantor DPRD Kota Makassar melainkan di depan kampus UNM. Dan hanya menjelaskan ciri-ciri fisik pelaku pelemparan yang diarahkan kepada Terdakwa Wahyu, sedangkan terdakwa Nasrullah tak ada yang melihat dan memastikan keberadaannya saat peristiwa di depan kampus UNM tersebut.

Meski fakta penangkapan sewenang-wenang dan peristiwa pelanggran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian terekam dengan jelas bahkan menjadi headline di media lokal dan nasional saat itu, tak membuat Hakim memutus terdakwa bebas dari tuntutan pidana. Dalam perkara yang diadili terpisah Ahmad Faris Al Amri yang didakwa sebagai pembusur Wakapolrestabes Makassar divonis 18 Bulan penjara. Rusmadi mahasiswa Unismuh Makassar yang kebetulan berada di kampus UNM saat itu dan tak ikut dalam aksi demontrasi, sehari sebelumnya juga divonis bersalah oleh hakim yang mengadili dengan pidana penjara selama 5  Bulan 7 hari atas kepemilikan satu buah mata busur yang baru diambil dari dalam tas miliknya. Padahal fakta persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan mejelaskan bahwa tas miliknya itu tidak dalam penguasaannya saat terjadi penangkapan dan penyerangan brutal aparat kepolisian. Dia baru diperlihatkan tas tersebut saat berada di Polrestabes Makassar.

Suasana di Pengadilan pun sempat ricuh, massa mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Makassar yang terus mengawal proses persidangan, dan turut hadir mendengarkan putusan, tidak menerima putusan hakim yang dianggap tak memenuhi rasa keadilan itu. Mereka menganggap putusan bersalah kepada para mahasiswa yang mengalami serangkaian kekerasan dan tindakan sewenang-wenang Aparat Kepolisian itu adalah bukti nyata kembalinya kekuasaan otoriter khas orde baru dan merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.

Sementara di sisi lain, tindakan brutal aparat kepolisian terhadap mahasiswa, termasuk kekerasan dan penghalang-halangan peliputan oleh anggota Polisi terhadap kurang lebih sembilan orang jurnalis di kampus UNM saat itu, tak pernah diusut secara tuntas. Para anggota polisi brutal yang melakukan kekerasan pada peristiwa itu bebas beraktivitas tanpa proses hukum.

Atas vonis hakim tersebut tim penasehat hukum terdakwa dari LBH Makassar masih mempertimbangkan opsi melakukan upaya hukum (banding) sebagai perlawanan atas putusan hakim yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dan menciderai demokrasi itu. [Abdul Azis Dumpa]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *