Categories
Perempuan dan Anak

Hendak Bersekolah Tetapi Dilapor Penelantaran Rumah Tangga

277027_142160289182855_1216309732_nSeorang Istri di Kabupaten Bone hendak melanjutkan sekolah seperti janji sang suami tetapi kemudian dilaporkan dan disangka melakukan penelantaran rumah tangga. Sang Istri bernama Nur Eka Pratiwi, saat menikah masih berumur 15 tahun dan duduk di bangku Kelas I SMA. Kasus ini bermula pada tahun 2012, saat Eka masih berumur 15 tahun dan duduk di bangku Kelas I SMA. Ketika itu orang tua Eka berkeinginan untuk menikahkannya dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah sepupunya sendiri yang bernama Danial. Awalnya, renvana ini ditolak Eka dengan alasan ingin melanjutkan sekolah. Namun, orang tuanya tetap membujuknya bahkan mengajaknya untuk menemui pihak calon suami. Dalam pertemuan tersebut, calon suami dan calon mertua memberikan jaminan kepada Eka dan orang tua Eka bahwa Eka nantinya tetap dapat bersekolah bahkan akan dibiayai hingga perguruan tinggi. Karena syarat dan jaminan itulah, akhirnya Eka bersedia menikah dengan Danial. Akhirnya pernikahan Eka dan Danial dilangsungkan pada tanggal 29 Oktober 2012 dengan syarat atau perjanjian pra nikahnya adalah Eka tetap bisa bersekolah.

Seminggu setelah pernikahan, Eka meminta izin suaminya untuk pergi ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolahnya cukup jauh serta harus menggunakan katinting[1] terlebih dahulu sebelum akhirnya mencapai kota menuju sekolah di SMA Negeri 5 Bajoe Kab. Bone. Setiap minggu jika hari sekolah Eka menginap di rumah salah seorang keluarganya dan kembali ke rumahnya di desa pada hari sabtu sore.

Keingianan dan tindakan Eka untuk kembali bersekolah ini ternyata memunculkan persoalan di keluarganya. Baru saja seminggu Eka masuk ke sekolah, suaminya kemudian melarang Eka untuk bersekolah lagi. Larangan itu kemudian setiap hari disampaikan ke Eka karena begitu berang, bahkan suaminya datang ke sekolah. Sang suami memaksa pihak sekolah untuk mencoret nama Eka serta mengancam akan menceraikan Eka jika larangannya tersebut tidak diindahkan. Peristiwa tersebut menjadi bagian dari rentetan kekerasan phsikis yang dialami Eka dan membuatnya begitu tertekan. Namun Eka mencoba bertahan pada kondisi yang ada, Eka tetap bersekolah.

Beberapa minggu kemudian, dalam perjalanan Eka dari sekolah ke rumah keluargnya di Bajoe, Eka mengalami sebuah kecelakaan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Akibat kecelakaan tersebut Eka mendapat beberapa jahitan di bagian tangan kanannya. Saat Eka sakit dan menjalani perwatan, suaminya tidak ikut merawat dan tidak membiayaai pengobatannya. Sang Suami  hanya sekali menjenguk dan waktunya pun tidak lama dengan alasan orang tuanya memanggilnya pulang.

Lantaran sudah tidak kuat dengan tekanan yang ada, Eka kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah tanggal 30 November 2012. Tidak hanya itu Eka juga memutuskan melayangkan gugatan cerai kepada suaminya 1 Maret 2013. Gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama Bone ini telah diputus pada tanggal 25 April 2013 dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Ternyata di saat proses gugatan perceraian berjalan, Sang suami melaporkan Eka atas dugaan penelantaran dalam rumah tangga ke Polrestabes Bone tanggal 28 Maret 2013. Kasus dugaaan penelantaran dalam rumah tangga  terhadap suami ini sementara disidangkan di Pengadilan Negeri Watampone dengan dugaan melanggar Pasal 49 huruf a UU PKDRT. Kasus ini Eka didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan telah memasuki agenda pemeriksaan saksi,. Adapun ketentuan Pasal 49 huruf a UU PKDRT menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a.Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9ayat (1)”

Pertanyaannya kemudian adalah, jika dihubungkan fakta tersebut di atas dengan dugaan tindak pidana yang dialamatkan kepada Eka adalah dapatkah seorang Eka sebagai istri dituduh melakukan penelantaran dalam rumah tangga. Jawabanya tentu dimungkinkan, tetapi harus diletakkan dalam konteks relasi suami-istri. Dalam kasus ini apakah Eka (istri) lebih dominan dalam arti memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dalam rumah tangga. Karena awal mula atau prasyarat utama sebuah dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah ketimpangan relasi kuasa yakni pelaku harus memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dari korbannya. Selain itu kejadian harus dalam bentuk siklus, tidak hanya terjadi sekali[2]. Politik hukum dan semangat lahirnya UU PKDRT adalah untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Kaerena meskipun Negara telah menjamin dalam konstitusi persamaan hak laki-laki dan perempuan. Namun faktanya masih sering terjadi ketimpangan yang berimplikasi pada meningkatnya kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap kelompok rentan terutama dalam wilayah domestic.

Sementara dalam kasus Eka, berdasar fakta yang ada justeru Eka yang memiliki kuasa relasi yang lebih rendah. Tindakan yang dilakukannya dengan meninggalkan sang suami sebagai  upaya untuk keluar dari siklus kekerasan phisikis. Selain itu dalam karena adanya pengingkaran perjanjian pra nikah oleh sang suami dan tidak adanya perawatan dari sang suami saat Eka mengalami kecelakaan lalulintas. Dengan kata lain unsure yang dituduhkan kepada Eka sangat berbeda dalam prefektif perempuan dan fakta hokum yang ada (fakta persidangan).

Sebaliknya justeru dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, Eka adalah korban dari suaminya yang memiliki relasi yang lebih tinggi. Begitu juga hal kaitannya dengan unsur pidana, sang suami justeru yang tidak melakukan perawatan terhadap sang istri (Eka) sebagai salah satu syarat terpenuhinya unsure penelantaran rumah sebagaimana dimaksud Pasal 49 huruf a UU PKDRT tangga. Apalagi sang suami juga telah menginkari perjanjian pra nikah yang. [Aulia Susantri]


 

[1] katinting : perahu kecil untuk alat transportasi di daerah Bugis-Makassar

[2] Keterangan  saksi ahli Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan)  pada  sidang pemeriksaan saksi ahli tanggal 18 Juni 2014 di Pengadilan Negeri Watampone, Sulawesi Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *