Quo Vadis Revisi UU Anti-Terorisme dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas)

Agenda

Loading Events

« All Events

  • This event has passed.

Quo Vadis Revisi UU Anti-Terorisme dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas)

October 25, 2016 @ 9:00 am - 1:00 pm

Latar Belakang

DPR saat ini tengah membahas draf revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diusulkan oleh pemerintah. Pemerintah berdalih UU yang ada saat ini belum cukup memadai bagi penanggulangan ancaman terorisme di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, RUU perubahan itu justru menuai banyak kritik dari kalangan masyarakat sipil. Penambahan sejumlah wewenang baru dalam draf yang diajukan ke DPR menunjukkan arah substansi RUU ini yang cenderung menebalkan kekuasaan negara dan semakin menguatkan sifat draconian UU Anti-Terorisme.

Beberapa isu krusial dalam draf revisi UU Anti-Terorisme adalah: pertama, penambahan kewenangan baru kepada penyidik atau penuntut umum untuk membawa atau menempatkan orang tertentu pada tempat tertentu selama 6 bulan untuk tujuan program deradikalisasi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 43A ayat (1). Program deradikalisasi melalui pendekatan semacam ini bukan hanya salah, melainkan juga akan sangat berbahaya. Ketentuan ini selain sebagai bentuk “legalisasi penculikan”, juga bisa digunakan untuk menciptakan banyak kamp-kamp penahanan di berbagai daerah dan berpotensi menimbulkan terjadi kekerasan dan penyiksaan sebagaimana penjara Guantanamo di Amerika Serikat.

Kedua, tentang pelibatan TNI secara aktif dalam penanganan tindak pidana terorisme sebagaimana yang diatur dalam pasal 43B ayat (1) dan (2) draf RUU Anti-Terorisme. Pelibatan TNI secara aktif dalam penanganan terorisme dinilai rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan juga merusak mekanisme criminal justice system. Klausul pelibatan TNI dalam RUU ini berpotensi membuka ruang keterlibatan TNI yang luas dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri. Ini bisa dilihat dari luasnya lingkup penanggulangan terorisme dan tidak rigidnya klausul pelibatan TNI dalam RUU ini. Dalam Pasal 43A ayat (3) disebutkan bahwa kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme mencakup: pencegahan, pelindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional, dan kerja sama internasional.

Dengan luasnya lingkup penanggulangan terorisme (Pasal 43A ayat (3)) dan tidak rigidnya klausul pengaturan pelibatan TNI (Pasal 43B ayat (1) dan (2)) dikhawatirkan akan menjadi cek kosong bagi TNI untuk terlibat dalam penanganan terorisme. Ketentuan itu bisa ditafsirkan secara luas untuk terlibat dalam semua aspek atau dimensi penanggulangan terorisme yang terbungkus dalam dalih memberikan perbantuan kepada Polri dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme.

Ketiga, persoalan perpanjangan masa penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 RUU ini yang menyatakan bahwa penyidik berwenang melakukan penangkapan dalam 30 hari kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme. Jika dibandingkan dengan masa penangkapan yang diatur dalam KUHAP yaitu selama 1×24 jam dan yang diatur dalam UU Anti-Terorisme saat ini yaitu selama 7 hari maka perpanjangan masa penangkapan yang diatur dalam Pasal 28 RUU ini terlalu lama. Lamanya masa penangkapan akan membuka ruang dan potensi terjadinya pelanggaran HAM, seperti kekerasan dan penyiksaan. Terlebih lagi di tengah lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas penegak hukum di Indonesia.

Keempat, perpanjangan masa penahanan sejak proses penyidikan hingga proses pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi 300 hari juga problematik. Bukan hanya berpotensi terjadi pelanggaran HAM, melainkan juga akan membuat seseorang terlalu lama dalam status hukum sebagai tersangka hingga sidang pengadilan menyatakan dia bersalah atau tidak. Jika dibandingkan KUHAP yakni 170 hari, maka perpanjangan ini jelas akan merugikan hak-hak dari tersangka untuk dapat disidang dalam suatu proses peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya murah.

Selain rancangan revisi terhadap UU Anti-Terorisme, saat ini pemerintah bersama DPR juga tengah membahas rancangan undang-undang tentang Keamanan Nasional (Kamnas) yang rencananya akan dibahas pada tahun 2016 ini, dimana inisiatif atas RUU tersebut dialihkan dari sebelumnya oleh Pemerintah menjadi usulan/ inisiatif DPR. Keinginan pemerintah yang begitu besar dalam mendorong pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Keamanan Nasional yang diikuti dengan munculnya draf terbaru tanggal 15 September 2015 tentu menjadi pertanyaan bagi publik. Terlebih, pada masa pemerintahan sebelumnya, RUU ini pernah dikembalikan oleh DPR kepada pemerintah mengingat penolakan yang keras dari masyarakat sipil karena dipandang bisa mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM.

Di antara persoalan dalam RUU Kamnas yang mengandung bahaya bagi kehidupan demokrasi dan HAM dapat dilihat dalam Pasal yang mengatur tentang persepsi ancaman keamanan nasional yang bersifat multi-interpretatif dan berlebihan. Kategorisasi ancaman dalam RUU ini juga berpotensi membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, RUU Kamnas juga mengandung nuansa sekuritisasi dan dapat mengembalikan pendekatan keamanan seperti pada masa orde baru dimana semua hal dapat dikategorikan sebagai ancaman keamanan nasional.

Persoalan lain dalam RUU ini adalah tentang pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang memiliki fungsi untuk mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional sebagaimana dimaksud Pasal 18 RUU Kamnas. Pembentukan dewan ini tentunya dikhawatirkan akan mengembalikan struktur yang serupa tapi tak sama seperti Kopkamtib atau Bakortstranas pada masa orde baru yang berkarakter represif.

Selain kedua RUU tersebut, dalam dua tahun belakangan ini juga banyak dibuat MoU antara TNI dengan Kementerian dan instansi lain. Hingga kini, setidaknya terdapat 31 MoU TNI dengan berbagai instansi dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Secara hukum, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang di dasarkan pada  MoU TNI bertentangan dengan UU TNI no 34/2004. Pasal 7 ayat 3 UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus di dasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara dan bukan melalui MoU. Dengan demikian, beberapa MoU yang sudah dibuat jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI no 34/2004.

Terlihat adanya upaya negara untuk memperkuat aparatnya secara berlebihan melalui kedua RUU tersebut yang saat ini sedang dalam pembahasan di DPR. Penguatan kewenangan negara itu salah satunya melalui rencana pelibatan TNI untuk terlibat kembali dalam mengatasi persoalan keamanan dalam negri melalui revisi UU Anti-Terorisme dan RUU Kamnas. Disisi lain institusi Kepolisian juga meminta kewenangan yang berlebihan dengan meminta perpanjangan masa penagkapan dan penahanan dalam revisi RUU Anti-Terorisme. Atas dasar hal tersebut diatas, Imparsial dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bermaksud menyelenggarakan diskusi publik dengan tema: “Quo Vadis Revisi UU Anti-Terorisme dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas)” yang akan dilaksanakan pada:

 

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Hari/Tanggal       : Selasa, 25 Oktober 2016

Waktu                   : Pukul 10.00 – 13.00 WITA. – Diakhiri makan siang

Tempat                  : Kafe Mr. Coffee (lantai 2), Jl. Topaz Raya, Masale, Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan

 Pembicara

  1. Ardimanto Adiputra (Koordinator Peneliti Imparsial)
  2. Bahrain (Direktur Direktorat Advokasi & Kampanye YLBHI)
  3. Haswandy Andy Mas (Direktur LBH Makassar)
  4. Dr. Marwan Mas MH (Akademisi)
  5. Kombes Pol Frans Barung Mangera (Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan)

Moderator

Muh. Fajar Akbar (Wakil Direktur bidang Monitoring dan Evaluasi)

Peserta Kegiatan

  1. Mahasiswa/aktivis organisasi mahasiswa
  2. Aktivis NGO
  3. Dosen/akademisi
  4. Jurnalis
  5. Masyarakat umum

Details

Date:
October 25, 2016
Time:
9:00 am - 1:00 pm
Event Category:

Organizer

LBH Makassar dan Imparsial
Phone:
081343985796

Venue

Kafe Mr. Coffee (lantai 2)
Jl. Topaz Raya, Masale, Panakkukang,
Makassar, Sulawesi Selatan Indonesia
+ Google Map